Pendahuluan
Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan
mengental dalam puisi. Oleh karena itu, puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan pernyataan seni sastra yang paling baku. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Sehingga
dari dahulu hingga sekarang puisi selalu diciptakan orang dan selalu dibaca, dideklamasikan untuk lebih merasakan kenikmatan seninga dan nilai kejiwaanya yang tinggi. Dari dulu hinggga sekarang karya sastra puisi digemari oleh semua aspek
masyarakat. Karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat,
dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep
estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu
meningkat. Karena itu, pada waktu
sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi
Indonesia modern. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh hakekat puisi yang merupakan inti pernyataan yang padat itu.
Kajian Teoritis
Aliran Ekspresionalisme
Dalam puisi Indonesia,
Chairil Anwar merupakan salah tokoh yang karya-karyanya masuk dalam aliran ekspresionalisme. Dalam aliran tidak mengungkapakan kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang di ekspresikan adalah gelora kalbunya, kehendak batinya. Puisinya benar-benar ekspresi jiwa, creatio, bukan mimiesis. Namun demikian kadang-kadang penyair realis juga bersikap ekspresionalisme, yakni jika ekspresi jiwanya itu
tidak berlebih-lebihan, tetapi apa adanya. Ekspresi jiwa yang berlebihan cenderung bersifat emosional adalah cirri-ciri kaum
romantisme.
Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan alam atau kenyataan,
juga bukan penggambarann kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung
dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”
karya Chairil Anwar di bawah ini.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(DCD, 1959:7)
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana
penyair tidak mau meniru atau menyatakan
kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya
itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka
itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup
seribu tahun lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”.
Pembahasan
Aliran ekspresionalisme
pada “aku”
karya Chairi Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan
merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(DCD, 1959:7)
Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa
Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan
jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu
sedan” yang meratapi kematian si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku
ini adalah binatang jalang yang lepas bebas,
yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan
yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan
ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri
Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan dan ikatan,
halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku
menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur dan
keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukankan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ku
mau tak seorang kan
merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”.
Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku
akan mengahadapi segala rintangan “tebusan peluru”,
“bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu. Makin
banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan
dapat berkarya yang bermutu sehingga pikirannya dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya,
jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”,
berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya
bukan fisik.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti “ku mau, tak perlu
sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli,
dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang jalang
adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap
kehebatan ini sendiri sebab selain orang
lain orang mempunyai kehebatan juga
ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya
ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban pribadi
“ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga
kau”. Hal ini karena si kau adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku
mau hidup seribu tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang
dan penentuan nasib sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi”
adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap pandangan para penyair yang mendahuluinya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola,
dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u
ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
………
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih
menambah intensitas :
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian
jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi
tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada
di dalan dunianya.
Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”,
“tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan
itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya
arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh pengantian arti, yaitu
dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan metafora, baik metafora penuh mauapun
implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implicit seperti “peluru,
luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan
serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan,
ia tetap akan meradang, menerjang: melawan
dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan
yang didapat yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan,
kesedihan atau penderitaan akibat tembusan
peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa
citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan
sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak.
Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti dan penggantian arti itu menyebabkan sajak “aku” ini dapat tafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan
kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak
ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini yang
menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
Kesimpulan
Dari ulasan
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam
membuat
suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya
dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman,
bayang-bayang
yang sebagai
media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba
memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari
jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat,
dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala
untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya
digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi,
di sini kelihatan gambaran bahwa si aku
penuh vetalitas mau mereguk hidup ini
selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa
Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang
hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Daftar pustaka
v Djoko Pradopo Rakhmat, Pengkajian Puisi, Yogyakarta,
Gajah Mada University Prees, 1987.
v Anwar Chairil, Aku Binatang Jalang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
v J. Waluyo Herman, Teori dan Apresiasi Puisi.Erlangga
Jakarta, 1991
Yogyakarta, Oktober 2002