KANGEN
Karya Jaya Paul
081578728603
Surya jingga
memiring di langit barat dekat saat aku dari kuliah yang kebetulan pulangnya agak cepat karena kebetulan tidak ada kuliah
alias kosong. Kemudian aku masuk ke kos dengan membuka gembok-gembok kamar yang
hitam kelam. Ku buka pintu dan ku sapa ranjang kayuku. Sesaat aku hanyut dalam pikiran, namun sejenak ku lihat album foto-fotoku
yang lama merindukan perhatian kekasih hatinya. Ah..ternyata aku tidak bisa membodohi diriku. Aku kangen…ketika aku
melihat dirimu dengan senyum penuh kerinduan..
Ku ingat suatu
pepatah “jikamu cinta ingin abadi maka berilah kabar kasihmu”. Seketika itu juga aku beranikan untuk mengabarkamu.
Ku hadapakan
wajahku di atas kertas penuh khayalan dengan kata-kata kangen.
Ku Mulai dengan
salam sebagai nasihat tentang agamaku.
Sayangku,
maaf… aku baru bisa memberi kabar padamu, karena selama aku hampir satu tahun ini aku tidak pulang, karena aku melaksanakan
studiku di Yogyakarta.
Mungkin kamu tahu, aku di sini sangat merindukan akan belaian dirimu. Kadang aku harus bersentuh tangan dengan orang lain
tapi aku ingat kamu. Jujur saja aku disini takan rela bila kau akan melupakanmu. Biarpun sang waktu yang menentukan kehidupan
masa depan kita. Aku menjalankan tugas yang mulia. Aku harus berangkat ke kampus
jam
07.30 sampai jam 12.00, dan kini aku mendapatkan pekerjaan sampingan untuk menambah
uang bensinku.
Sayang…..Jiwaku
lega bahkan menjadi bahagia ketika kudapati dua surat darimu
telah menungguku di rak kecil di sebelah almariku. Surat-surat cintamu selalu menyenangkan hatiku dan dirimu selalu kurindu.
Saat ini kubaca seraya membayangkan dirimu, Sayang… Meskipun tidak lebih dari dua lembar, aku lebih suka membaca surat-surat
bertulis asli dari liukan jemarimu daripada berlembar-lembar kamu tuliskan isi hatimu dengan mesin ketik atau memakai komputer
yang sungguh-sungguh telah menggantikan hasil seni murni alami dan bahasa hatimu.
Sayang…mungkin
bagimu aku kuno dan kampungan, ya?
Karena tidak
bisa membalas goresan hatimu secara cepat. Tapi memang jelas begitu, Sayang.. Aku kan
anak kampung yang telah kamu tinggalkan, merantau ke Kota Mahasiswa selama beberapa
tahun ini demi menyelesaikan pendidikanmu di sebuah universitas. Namun disini juga aku mencoba untuk menyesuaikan akan intesitas
kamu. Walaupun aku harus merangkak dalam hal pembiayaan studiku. Mungkin soal ongkos, bukan masalah berat bagi orangtuamu
yang mempunyai jabatan penting di daerahku. Tatapi bagi itu hal yang perlu dipikirkan dengan matang.
Sayang….
Aku tidak
ingin namamu jelek lantaran status keluargaku..aku berstudi dari hasil bating tulang orang tuaku. Maka dari itulah aku harus
menyetarakan status keluargamu.
Mungkin nanti…kamu
setelah lulus langsung mendapatkan pekerjaan di tempat orang tuamu tetapi aku mungkin harus berkeliling bergelut dengan debu-debu
jalanan.
Ah……..sayang
Aku sebagai anak laki-laki,
kendati bukan anak sulung, aku tetap harus bekerja. Keluarga punya kebutuhan pokok juga. Beras, gula, minyak tanah, dan lain-lain.
Kami tidak punya sawah, dan kondisi tanah kampung kita yang kuning dan keras, tidak cocok untuk tanam padi. Sistem irigasi
pun tak ada. Beras pasti didatangkan dari pulau lain. Selain itu, minyak tanah hari ini bisa ada, besok tiada, lalu muncul
lagi dengan harga yang bertambah sekian ratus rupiah bahkan bisa ribu rupiah.
Mungkin itu
adalah gambaran nasib keluargaku….
Ya, beginilah
nasibku, Sayang. Tapi aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, karena keberadaan dirimu selama ini lebih dari cukup bagiku
untuk bersyukur dan memaafkan apa dan siapa pun yang telah andil dalam nasibku. Dan suratmu ini sangat menghibur diriku yang
tengah lelah raga, kendati aku belum sempat membalasnya.
Manakala membaca
suratmu, aku sering membayangkan alangkah tekunnya kamu melakukannya. Menulis, membaca ulang, mencoreti yang tidak pas di
hati, memperbaiki, mengambil lembaran baru, menulis ulang, membacanya lagi dengan mencermati setiap kalimat, membuang lembaran
yang keliru, meneliti lagi, menulis ulang, membuang lembar yang keliru lagi, membaca kembali, dan seterusnya hingga betul-betul
siap masuk amplop. Huruf-huruf cantik memang sudah mengalir lancar dari jemari lentikmu. Tetapi kata-kata yang padat-akurat
tentu tidak sembarangan bagimu yang berpendidikan lebih tinggi.
Berikutnya, amplop. Aku tentu sudah menyiapkannya. Warna biru muda. Polos.
Tanpa kembang atau gambar hati. Selalu begitu sejak surat
cinta pertama kuterima darimu. Kamu pasti punya alasan tersendiri, kenapa senantiasa begitu, bahkan mungkin sebagian dari
prinsipmu mencinta.
Begitukah
sayang?
Lalu, apabila
lembar surat sudah terlipat, masuk amplop, dan terekat, kamu akan pergi ke kantor pos atau
hanya mencemplungkan dalam bis surat yang terlebih dahulu
amplopnya sudah kamu beri perangko. Kalau di daerah kita, kantor pos hanya ada di kecamatan yang berjarak lima kilometer dari kampung kita. Bagaimana dengan kantor pos di daerah perantauanmu kini,
Sayang? Dekatkah jarak pondokanmu dengan kantor pos? Atau sama, lima
kilometer juga? Transportasinya bagaimana? Seandainya hujan berhari-hari, apakah kamu akan berjuang mengantarkannya ke kantor
pos demi aku? Tentang kantor pos ini, kamu belum satu kali pun menyinggungnya.
Mungkin saat
ini kamu bertanya, “Untuk apa semua rincian ini?”.
Sayangku,
seberapa rinci aku membayangkan jerih-payahmu menulis hingga mengirimkan surat
itu padaku, tentu saja aku wajib menghargainya. Perbedaan kondisi dan situasi kita sekarang justru membuatku lebih serius
lagi dalam menghargai cintamu.
Jujur saja,
aku sering bertanya pada diriku sendiri, kenapa cintamu tetap menggebu? Bukankah di sekitarmu bertaburan mahasiswa yang lebih
segala-galanya dibanding aku? Gadis secantik dan sepandai kamu pasti mudah mendapat kekasih yang sepadan. Setiap aku membantu
mamamu merawat taman, beliau sering cerita bahwa hasil ujianmu selalu bagus, punya banyak kawan, aktif mengikuti organisasiini-itu.
Sayangku,
apakah kamu pengagung cinta pertama itu? Apakah, menurutmu, cinta orang-orang kota
sudah terpolusi oleh materi atau birahi? Apakah para mahasiswa itu pernah menunjukkan perilaku yang mengecewakanmu? Apakah
kamu sama sekali tidak percaya pada cinta di kota besar yang
kini akrab dengan budaya selingkuh itu? Jawablah, Sayangku. Jujurlah. Aku akan tetap menunggumu walau aku harus berkaca dalam
keluargamu.
Kutunggu kangenmu
kasih………….
Yogyakarta, Januari 2005.